BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Dalam UU Perkawinan sama sekali
tidak membicarakan peminangan. Hal ini mungkin disebabkan peminangan itu tidak
mempunyai hubungan yang mengikat dengan perkawinan. KHI mengatur peminangan itu
dalam pasal 1, 11, 12, dan 13. keseluruhan pasal yang mengatur peminangan ini
keseluruhannya berasal dari fqh madzhab, terutama madzhab Syafi’ie. Namun
hal-hal yang dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh tentang peminangan seperti
hukum perkawinan yang di lakukan setelah berlangsungnya peminangan yang tidak
menurut ketentuan, tidak diatur dalam KHI.
Dalam makalah ini dijelaskan tentang
hal-hal yang berhubungan dengan pinangan atau dalam bahasa lain (baca: Arab)
adalah khitbah (merujuk pada KHI 1991 Pasal 12, tentang aturan pinangan). Selain itu, permasalahan khitbah
ini - sering - dianggap sepele oleh masyarakat Indonesia tanpa mengacu kepada
hukum-hukum Islam yang ada. Oleh karena itu, dalam makalah ini diulas beberapa
hal yang berhubungan dengan khitbah, mohon maaf atas segala kekurangan.
1.2. Rumusan
Masalah
1. Apakah
pengertian dari Khitbah ?
2. Bagaimanakah
dasar hukum khitbah dalam al-Qur’an dan hadist ?
3. Apa sajakah
macam-macam dan batasan pergaulan dalam Khitbah
itu ?
4. Ada
berapakah syarat-syarat khitbah ?
5. Bagaimanakah
konsekuensi pembatalan khitbah ?
6. Apakah
hikmah dari khitbah itu ?
1.3. Tujuan
Masalah
1.
Mengetahui pengertian dari khitbah
2.
Mengetahui dasar hukum hitbah dalam
al-Qur’an dan Hadist
3.
Mengetahui macam-macam dan batasan
pergaulan dalam khitbah
4.
Mengetahui syarat-syarat khitbah
5.
Mengetahui konsekuensi pembatalan
khitbah
6.
Mengetahui hikmah dari khitbah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Khithbah
Meminang artinya menyatakan permintaan untuk
menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan
perantara seseorang yang dipercayainya. Dalam merencanakan kehidupan berumah
tangga, diantara langkah yang harus ditempuh oleh seorang ikhwan adalah
menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk menjadi calon istrinya. Secara
syar’i ikhwan tersebut menjalaninya dengan melakukan khithbah (peminangan)
kepada akhwat yang dikehendakinya. Adapun salah satu tujuan disyari’atkannya khithbah
adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon pendamping hidupnya.[1]
Sedangkan menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaily menjelaskan yang dimaksud Khithbah adalah
menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan
memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya). Selain itu
Sayid Sabiq (ibid) juga menyatakan bahwa yang dikatakan seseorang sedang
mengkhitbah seorang perempuan berarti ia memintanya untuk berkeluarga yaitu
untuk dinikahi dengan cara-cara (wasilah) yang ma’ruf.
Islam telah menganjurkan dan bahkan
memerintahkan kaum muslimin untuk melangsungkan pernikahan. Berkaitan dengan
anjuran untuk menikah,Allah Swt, berfirman :
(Nikahilah
oleh kalian perempuan-perempuan yang kalian sukai (QS.An-Nisa [4]:3)
Ibnu Mas’ud menuturkan
bahwa Rasulullah Saw telah mengingatkan:
‘Wahai para
pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah sanggup memikul beban. Hendaklah
ia segera menikah, karena hal itu dapat menundukan pandangan dan menjaga
kehormatan. Sebaliknya siapa saja yang belum mampu, hendaklah ia shaum karena
hal itu dapat menjadi perisai’.
Diantara peristiwa khithbah yang terjadi pada
masa Rasulullah Saw, adalah yang dilakukan oleh sahabat beliau, Abdurrahman Bin
‘Auf yang mengkhithbah Ummu Hakim Binti Qarizh. Hadits riwayat Bukhari
menjelaskannya sebagai berikut:
‘Abdurrahman
Bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh:”Maukah kamu menyerahkan
urusanmu kepadaku?” Ia menjawab ”Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman Bin ‘Auf)
berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.” (HR.Bukhari).
Abdurrahman Bin ‘Auf dan Ummu Hakim keduanya
merupakan sahabat Rasulullah Saw. Ketika itu Ummu Hakim statusnya menjanda
karena suaminya telah gugur dalam medan jihad fii sabilillah, kemudian
Abdurrahman Bin Auf (yang masih sepupunya) datang kepadanya secara langsung
untuk mengkhitbah sekaligus menikahinya.
Kejadian ini menunjukan seorang laki-laki boleh
meminang secara langsung calon istrinya tanpa didampingi oleh orang tua atau
walinya dan Rasulullah Saw tidak menegur atau menyalahkan Abdurrahman Bin ‘Auf
atas kejadian ini.
Selain itu, seorang wanita juga diperbolehkan
untuk meminta seorang laki-laki agar menjadi suaminya. Akan tetapi ia tidak
boleh berkhalwat atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip syari’at (Syamsudin Ramdhan, 2004:56). Kebolehan hal ini
didasarkan pada sebuah riwayat berikut:
‘Pernah ada
seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Saw, seraya berkata ‘Wahai
Rasulullah aku datang untuk menyerahkan diriku kepada Engkau’. Rasulullah Saw
lalu melihatnya dengan menaikan dan menetapkan pandangannya. Ketika melihat
bahwa Rasulullah tidak memberikan keputusannya, maka wanita itupun
tertunduk” (HR.Bukhari)
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat difahami
bahwa khithbah merupakan jalan untuk mengungkapkan maksud seorang ikhwan/akhwat
kepada lawan jenisnya terkait dengan tujuan membangun sebuah kehidupan berumah
tangga, baik dilakukan secara langsung (kepada calon) ataupun melalui
perwakilan pihak lain.
2.2 Dasar Hukum
Khitbah
Sungguh Islam menjadikan khitbah sebagai perantara
untuk mengetahui sifat-sifat perempuan yang dicintai, yang laki-laki menjadi
tenang terhadapnya, dengan orang yang diinginkannya sebagai suami baginya
sehingga menuju pelaksanaan pernikahan. Ia seorang yang menyenangkan untuk
ketinggian istrinya secara indrawi dan maknawi sehingga tidak menyusahkan
hidupnya dan mengeruhkan kehidupannya.
Di dalam hadits disebutkan:
وعن جابرقال,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم, إذا خطب أحدكم المرأة فإن استطاع أن ينظر منها
إلى مايدعوه إلى نكاحها فاليفعل قالفخطبت جارية من نبي سلمة فكنت أختبئ لها تحت
الكرب حتى رأيت منها بعض ما دعاني إلى نكاحها فتزوجتها
“Dari Jabir bin Abdullah berkata: Rasulullah bersabda: jika seseorang
meminang perempuan, maka jika mampu hendaknya ia melihatnya sehingga ia
menginginkan untuk melihatnya, maka lakukanlah sehingga engkau melihatnya
sesuatu yang menarik untuk menikahinya maka nikahilah”.
Sedangkan di dalam al-Qur’an juga disebutkan:
ولاجناح
عليكم فيما عرَضتم به من خطبة النساء اوكنتم فى انفسكم علم الله انكم ستذكرونهن
ولكن لاتواعدوهن سرا الا ان تقولوا قولا معروفا ولاتعزموا عقدة النكاح حتى يبلغ
الكتاب اجله واعلموا ان الله يعلم ما فى انفسكم فاحذروه واعلموا ان الله غفور حليم
(البقرة: ٢٣٥ )
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran
atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, oleh karena itu janganlah
kamu mengadakan janji nikah dengan mereka dengan secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan kepada mereka perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu
ber’azam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.
2.3 Macam-Macam dan Batasan
Pergaulan dalam Khitbah
Ada beberapa
macam peminangan, diantaranya sebagai berikut:
1.
Secara langsung, yaitu menggunakan
ucapan yang jelas dan terus terang sehingga tidak mungkin dipahami dari ucapan
itu, kecuali untuk peminangan, seperti ucapan, “ saya berkeinginan untuk
menikahimu”.
2.
Secara tidak langsung( ta’rif),
yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dengan istilah
kinayah. Dengan pengertian lain
ucapan itu dapat dipahami dengan maksud lain, seperti ucapan.” Tidak ada orang
yang tidak sepertimu”, adapun sindiran selain ini yang dapat dipahami oleh wanita bahwa laki-laki
tersebut berkeinginan menikah dengannya, maka semua diperbolehkan. Diperbolehkan juga bagi wanita untuk menjawab
sindiran itu dengan kata-kata yang berisi sindiran juga. Perempuan yang belum kawin atau yang sudah
kawin dan telah habis pula masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan sindiran
atau secara tidak langsung.[2]
Jika seorang
perempuan ditinggal wafat oleh suaminya maka seorang laki-laki tidak boleh
melamarnya secara terang-terangan , karena ia masih dalam keadaan sedih atas
kematian orang yang dicintainya, Namun seseorang bisa melamarnya secara kinayah
selama masa iddahnya, jika masa iddahnya telah berlalu maka ia boleh melamarnya
secara terang-terangan. Seperti halnya yang dilakukan oleh Nabi Muhammad
SAW melakukan hal yang sama ketika
melamar Ummu Salamah Ra, yang ketika itu masih dalam keadaan iddah atas
kematian suaminya, Abu Salamah. Beliau
mengatakan kepada Ummu Salamah, “ Engkau mengetahui bahwa saya adalah
seorang Rosullah Saw dan sebaik-baik rosul, dan engkau juga mengetahui
kedudukanku di antara kaumku”. Ini
merupakan ucapan kinayah bahwa beliau ingin melamarnya.
Hukum meminang
seorang wanita secara terang-terangan yang sedang iddah , tetapi pelaksanaan
akad nikahnya sesudah masa iddahnya habis, maka dalam hal ini para ulama fikih
berbeda pendapat .
Menurut imam
Malik, akad nikahnya sah, tetapi meminangnya secara terang-terangan itu
hukumnya haram, Tetapi , bilamana akad
nikahnya terjadi pada masa iddah, maka para ulama sepakat akad nikahnya harus
dibatalkan, sekalipun antara mereka telah terjadi persetubuhan. [3]
2.3.1
Batasan
Pergaulan Kedua Calon Pengantin Setelah Peminangan.
Peminangan (khitbah) adalah proses yang mendahului
pernikahan akan tetapi bukan termasuk dari pernikahan itu sendiri. Pernikahan
tidak akan sempurna tanpa proses ini, karena Peminangan (khitbah) ini akan membuat kedua calon
pengantin akan menjadi tenang akibat telah saling mengetahui. Oleh karena itu, walaupun telah terlaksana
proses peminangan, norma-norma pergaulan antara calon suami dan calon istri
masih tetap sebagaimana biasa. Tidak boleh memperlihatkan hal-hal yang dilarang
untuk diperlihatkan karena agama tidak memperkenankan melakukan sesuatu
terhadap pinangannya kecuali melihat, apabila
menyendiri dengan pinangannya
akan menimbulkan perbuatan yang dilarang oleh agama. Akan tetapi bila ditemani oleh salah seorang
mahramnya untuk mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan maksiat maka
dibolehkan.[4] Dalam kaitan ini, Rasullah Saw bersabda:
لا
يخلون رجل باءمرءة لاتحل له فان ثا لتهما لشيطان الا لمحرم (رؤاه
احمد)
Jangan sekali-kali seorang laki-laki menyendiri dengan perempuan
Yang tidak
halal baginya, karena ketiganya adalah syaithan
Masalah ini sering disepelekan oleh para perempuan dan walinya,
mereka membiarkan begitu saja anak perempuannya bepergian kesana-kemari,
padahal belum ada ikatan sama sekali.
Tanpa mengenal batas kesopanan,
mereka bebas bergaul dengan calon istrinya padahal masih dalam keadaan status pinangan, mereka sering mengubar nafsu
tanpa memperhatikan aspek kesopanan dan batas pergaulan secara wajar, perbutan
seperti ini secara tidak langsung akan berpengaruh jelek pada perkembangan
masyarakat.
2.3.2 Batasan Pergaulan
yang Boleh Dilakukan dalam Khitbah
Adapun batasan
pergaulan yang boleh dilakukan ketika dalam masa khitbah adalah:
1.
Seorang peminang
boleh melihat calon istrinya dengan berniat benar-benar ingin menikahinya, yang
boleh dilihat pada waktu meminang adalah wajah dan telapak tangannya calon
istri, sebab wajah adalah pancaran jiwa, sedangkan kedua telapak tangan
biasanya menunjukan kebersihan tubuh dan kesuburannya.[5]
2.
Diperkenankan
bercakap-cakap dengan calon istri selagi tidak menjurus kemaksiatan. Tidak diperkenankan untuk berjabat tangan
dengan calon istri dalam keadaan bagaimanapun, sebab calon istri adalah
‘’wanita asing’’ sebelum adanya akad nikah
3.
Pada saat
meminang, sang peminang dengan yang dipinang tidak diperkenankan berdua-duaan,
namun harus ada mahramnya juga. Sebab islam mengharamkan pertemuan seorang
laki-laki dan perempuan (bukan mahramnya) secara berduaan,
Itulah
beberapa ketentuan dan tata cara ketika meminang calon istri, sebagai ajaran
yang hakiki dan sempurna, islam menentukan ketentuan tersebut dalam
syariat. Siapa pun yang berpaling dari
ketentuan mulia itu, tentu mereka akan menerima dosa dan tuntutan Allah Swt.
2.4 Syarat Melakukan Khitbah
1. Syarat Mustahsinah (lebih baik)
Syarat
mustahsinah adalah syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang
akan melamar seorang perempuan agar ia meneliti lebih dahulu perempuan yang
akan dilamarnya itu. Sehingga, dapat menjamin kelangsungan hidup berumah tangga
kelak. Syarat mustahsinah ini bukanlah syarat yang wajib dipenuhi, tetapi hanya
berupa anjuran dan kebiasaan yang baik.
Yang
termasuk syarat mustahsinah itu adalah:
- Perempuan yang akan dilamar hendaklah sejodoh dengan laki-laki yang meminangnya, seperti sama kedudukannya, sama-sama baik rupanya, sama dalam tingkat sosial ekonominya, dan sebagainya.
- Perempuan yang akan dilamar hendaknya perempuan yang mempuanyi sifat kasih sayang dan mampu memberikan keturunan sesuai dengan anjuran Rasulullah saw.
- Perempuan yang akan dilamar hendaknya perempuan yang jauh hubungan darah dengan laki-laki yang akan melamarnya. Islam melarang laki-laki menikahi seorang perempuan yang sangat dekat hubungan darahnya.
- Hendaknya laki-laki mengetahui keadaan-keadaan jasmani, budi pekerti, dan sebagainya dari perempuan yang akan dilamar.
2. Syarat
Lazimah
Syarat
lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum proses melamar atau khitbah
dilakukan. Sahnya lamaran bergantung kepada adanya syarat-syarat lazimah.
Syarat
lazimah tersebut adalah:
- Perempuan yang akan dilamar tidak sedang dilamar laki-laki lain. Apabila sedang dilamar laki-laki lain, maka laki-laki tersebut telah melepaskan hak pinangnya sehingga perempuan dalam keadaan bebas.
- Perempuan yang akan dilamar tidak dalam masa iddah. Masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang perempuan yang ditalak suaminya. Haram hukumnya melamar peempuan yang sedang dalam masa iddah talak raji’i.[6]
- Perempuan yang akan dilamar hendaklah yang boleh dinikahi. Artinya, perempuan tersebut bukan mahrom bagi laki-laki yang akan melamarnya.
2.5 Membatalkan Khitbah
Hati manusia itu
selalu berubah-ubah karena ia adalah fitrah yang dikaruniakan oleh Allah SWT.
Begitu juga dalam masalah khitbah, bisa jadi piahak laki-laki yang membatalkan
lamarannyaatau sebaliknya, pihak perempuan mencabut kembali keputusannya untuk
menerima lamaran pihak laki-laki. Hal ini bisa terjadi, dan kenyataannya memang
banyak terjadi.
Dalam islam,
membatalkan lamaran adalah sah-sah saja, sebab lamaran hanyalah janji dan
pengantar mkenuju pernikahan, bukan akad. Sehingga, lamaran itu bisa diputus
kapan saja. Hanya ,tindakan seperti ini sangat dibenci oleh siapa pun ,
terutama pihak yang dilamar. Jika alasan memutus lamaran adalah karena terkait
dengan persoalan syariat, itu tidak masaah. Namun jika alasannya mengada-ngada maka islam
sangat mencelanya, karena termasuk dalam sifat-sifat orang-orang munafik.
Dalam sebuah
riwayat diceritakan, tatkala kematian menghampiri Abdullah bin umar ra, ia
berkata, “ lihatlah laki-laki itu (seorang laki-laki dan kalangan quraisy) saya
telah mengucapkan kepadanya kata-kata yang mirip dengan perjanjian. Dan saya
tidak ingin menemui allah SWT dengan memikul sepertiga kemunafikan, saya
bersaksi di hadapan kalian semua bahwa saya teah menikahkannya.”. demikian
gambaran kosisitansi para shahabat dalam menjalankan janji mereka. Janganlah
kita dengan mudahnya membatalakan lamaran pernikahan, kecuali alasan syari
karena itu akan menyebabkan rasa sakit hati, dan memicu timbulnya permusuhan
diantara kedua belah pahak.
Sementara itu adat
berkembang di Indonesia, ketika dilangsungkan lamaran, biasanya membawa barang–barang
tertentu sebagai pengikat, bahkan ada yang telah memberikan sebagian mahar.
Jika begitu apa yang harus dilakukan jika dibatalkan lamaran ?. jika diberikan
itu adalah bagian dari mahar maka ia harus dikembaliakan. Mahar baru boleh
dimiliki setelah terjadi akad nikah. Sebelum itu mahar masih menjadi milik
laki-laki.
Sedangkan jika
barang-barang yang diberikan itu hanyalah hadiah untuk mempererat hubungan
diantara kedua belah pihak maka ia sama hukumnya dengan hibah. Dan itu tidak
boleh diambil lagi, kecuali atas keridhoaannya. Barang yang diberikan itu telah
masuk kedalam hak kepemilikan pihak perempuan, tentang hal ini rasulullah
bersabda.
لا يحل لاحدان يعطى عطية فيرجع فيها الاالوالد فيمايعطي ولده
“Tidak boleh bagi seseorang yang memberikan
suatu pemberian, kemudian mengambilnya kembali, kecuali baqpak kepada anaknya”.
·
Dalil-dalil
pembatalan khithbah
Dalil yang
menunjukkan mubahnya membatalkan pinangan adalah hadis
berikut;
صحيح البخاري (16/ 110)
عَنْ الْأَعْرَجِ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ
يَأْثُرُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا وَلَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
عَنْ الْأَعْرَجِ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ
يَأْثُرُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا إِخْوَانًا وَلَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
Dari Al A’raj ia berkata; Abu
Hurairah berkata; Satu warisan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda: “Jauhilah oleh kalian perasangka, sebab perasangka itu adalah
ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain,
jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang
bersaudara. Janganlah seorang laki-laki meminang atas pinangan saudaranya
hingga ia menikahinya atau meninggalkannya.” (H.R.Bukhari)
Lafadz ” hingga ia menikahinya atau meninggalkannya “ menunjukkan
orang yang telah mengkhitbah (meminang) wanita punya dua
pilihan sesudah pinangan tersebut diterima; melanjutkan dengan akad nikah atau
meninggalkan pinangannya. Jika dia memilih meninggalkan
pinangannya maka hal itu bermakna dia membatalkan pinangan.
Pembatalan pinangan dalam hadis ini tidak disertai lafadz dari Rasulullah صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ yang mengesankan ancaman dosa atau
sekedar celaan. Oleh karena itu membatalkan pinangan
hukumnya mubah, bukan makruh apalagi haram.
Kebolehan membatalkan
bersifat mutlak, karena lafadz hadis di atas tidak diikat
kondisi tertentu untuk menunjukkan kebolehan pembatalan tersebut. Jadi,
pembatalan pinangan baik dengan alasan maupun tanpa alasan hukumnya tetap mubah
tanpa ada celaan. Alasan pembatalan pinangan tidak mempengaruhi status hukum
dan tidak dipertimbangkan.
Ali pernah
melamar seorang wanita, kemudian membatalkan pinangannya.
Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (12/ 69)
عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ حُسَيْنٍ أَنَّ الْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ قَالَ
إِنَّ عَلِيًّا خَطَبَ بِنْتَ أَبِي جَهْلٍ فَسَمِعَتْ بِذَلِكَ فَاطِمَةُ فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَزْعُمُ قَوْمُكَ أَنَّكَ لَا تَغْضَبُ لِبَنَاتِكَ وَهَذَا عَلِيٌّ نَاكِحٌ بِنْتَ أَبِي جَهْلٍ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعْتُهُ حِينَ تَشَهَّدَ يَقُولُ أَمَّا بَعْدُ أَنْكَحْتُ أَبَا الْعَاصِ بْنَ الرَّبِيعِ فَحَدَّثَنِي وَصَدَقَنِي وَإِنَّ فَاطِمَةَ بَضْعَةٌ مِنِّي وَإِنِّي أَكْرَهُ أَنْ يَسُوءَهَا وَاللَّهِ لَا تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللَّهِ عِنْدَ رَجُلٍ وَاحِدٍ فَتَرَكَ عَلِيٌّ الْخِطْبَةَ
عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ حُسَيْنٍ أَنَّ الْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ قَالَ
إِنَّ عَلِيًّا خَطَبَ بِنْتَ أَبِي جَهْلٍ فَسَمِعَتْ بِذَلِكَ فَاطِمَةُ فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَزْعُمُ قَوْمُكَ أَنَّكَ لَا تَغْضَبُ لِبَنَاتِكَ وَهَذَا عَلِيٌّ نَاكِحٌ بِنْتَ أَبِي جَهْلٍ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعْتُهُ حِينَ تَشَهَّدَ يَقُولُ أَمَّا بَعْدُ أَنْكَحْتُ أَبَا الْعَاصِ بْنَ الرَّبِيعِ فَحَدَّثَنِي وَصَدَقَنِي وَإِنَّ فَاطِمَةَ بَضْعَةٌ مِنِّي وَإِنِّي أَكْرَهُ أَنْ يَسُوءَهَا وَاللَّهِ لَا تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللَّهِ عِنْدَ رَجُلٍ وَاحِدٍ فَتَرَكَ عَلِيٌّ الْخِطْبَةَ
Dari Az Zuhriy berkata, telah
bercerita kepadaku ‘Ali bin Husain bahwa Al Miswar bin Makhramah berkata; “‘Ali
pernah meminang putri Abu Jahal, lalu hal itu didengar oleh Fathimah. Maka
Fathimah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata; “Kaummu
berkata bahwa baginda tidak marah demi putri baginda. Sekarang ‘Ali hendak
menikahi putri Abu Jahal”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri
dan aku mendengar ketika beliau bersyahadat bersabda: “Hadirin, aku telah
menikahkan Abu Al ‘Ash bin ar-Rabi’ lalu dia berkomitmen kepadaku dan
konnsisten dengan komitmennya kepadaku. Dan sesungguhnya Fathimah adalah bagian
dari diriku dan sungguh aku tidak suka bila ada orang yang menyusahkannya. Demi
Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
putri dari musuh Allah pada satu orang laki-laki”. Maka ‘Ali membatalkan pinangannya.
(H.R.Bukhari)
Adapun ayat dalam surat As-Shoff yang berbunyi;
Adapun ayat dalam surat As-Shoff yang berbunyi;
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ
تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا
تَفْعَلُونَ}
[الصف:
2، 3]
Wahai orang-orang yang
beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat
besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan. (As-Shoff;2-3)
Maka ayat ini tidak bisa dijadikan dalil untuk mencela pembatalan Khitbah/pinangan
karena ayat ini sama sekali tidak berbicara topik pernikahan atau Khitbah.
Ayat ini berbicara tentang Jihad dan mencela sebagian
kaum muslimin yang mengucapkan statemen pengandaian yang berisi keinginan
mereka melakukan amal yang paling dicintai Allah. Ternyata, setelah turun ayat
yang memberitahu bahwa diantara amal yang paling dicintai Allah adalah berbaris
rapi dalam rangka berjihad, sebagian kaum muslimin yang mengucapkan statemen
pengandaian itu merasa berat dengan kewajiban Jihad padahal sebelumnya
mereka mengangan-angankannya. Sikap seperti inilah yang dicela oleh Allah dalam ayat ini. Yang
menguatakan bahwa ayat ini turun berkaitan masalah Jihad adalah ayat sesudahnya
yang berbunyi;
{نَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ
يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ} [الصف: 4
إِ
]
Sesungguhnya Allah menyukai
orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka
seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (As-Shoff;4)
Adapun hadis tentang tanda-tanda orang munafik, misalnya hadis berikut;
Adapun hadis tentang tanda-tanda orang munafik, misalnya hadis berikut;
صحيح البخاري (58 (1/
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Dari Abu Hurairah dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tanda-tanda munafiq ada tiga;
jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia
khianat”. (H.R.Bukhari)
Maka hadis ini
juga tidak bisa dijadikan dalil untuk mencela pembatalan pinangan. Hal itu
dikarenakan, meskipun diakui bahwa Syariat mencela sifat mengingkari janji,
namun pinangan bukanlah janji dan tidak bisa dimasukkan dalam janji. Pinangan
adalah طلب نكاح
(permintaan Nikah). dalam Mu’jam Lughati AL-Fuqoha dinyatakan;
معجم لغة الفقهاء (1/ 237)
الخطبة : بكسر الخاء ، طلب نكاح المرأة من نفسها أو من وليها
الخطبة : بكسر الخاء ، طلب نكاح المرأة من نفسها أو من وليها
“Khithbah, dengan
mengkasrohkan Kho’ adalah; permintaan menikahi wanita kepada wanita itu sendiri
atau kepada walinya” (Mu’jam Lughati AL-Fuqoha, vol.1, hlm 237)
Janji untuk
menikahi seorang wanita (secara diam-diam) sendiri dicela dalam Al-Quran, dan
dilarang seorang Muslim melakukannya. Allah berfirman;
{لَا
تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا } [البقرة: 235]
Janganlah
kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia (Al-Baqoroh; 235)
Jadi, keputusan membatalkan pernikahan baik dari
pihak lelaki maupun wanita dengan alasan apapun tidak bisa disalahkan secara
hukum syara’.
2.6
Hikmah Khitbah
Akad nikah dalam islam tergolong akad yang paling agung dan paling
tinggi kedudukannya, karena ia hanya terjadi pada makhluk yang yang paling
agung di bumi, yakni manusia yang di muliakan Alloh, sebagaimana firman-NYA
* ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPy#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû Îhy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur ÆÏiB ÏM»t7Íh©Ü9$# óOßg»uZù=Òsùur 4n?tã 9ÏV2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxÅÒøÿs? ÇÐÉÈ
Artinya: dan
Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan. (QS.Al-isra(17):70)
[862] Maksudnya: Allah memudahkan
bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk
memperoleh penghidupan.
Akad nikah untuk selamanya sepanjang masa bukan untuk sementara .
Salah satu dari kedua calon pasangan hendaknya tidak mendahului ikatan
pernikahan yang sakral terhadap yang lain kecuali setelah di seleksi benar dan
mengetahui secara jelas tradisi calon teman hidupnya, karakter, perilaku, dan
akhlaknya sehingga keduanya akan dapat meletakkan hidup mulia dan tentram,
diliputi suasana cinta, puas, bahagia, dan ketenangan .
Ketergesaan dalam ikatan pernikahan tidak mendatangkan akibat
kecuali keburukan bagi ke dua belah pihak atau salah satu pihak. Inilah di
antara hikmah di syariatkan khitbah dalam islam untuk mencapai tujuan yang
mulia dan impian yang agung.[7]
Ada
beberapa hikmah dari prosesi peminangan, diantaranya:
a.
Wadah perkenalan antara dua belah pihak yang akan melaksanakan
pernikahan. Dalam hal ini, mereka akan saling mengetahui tata etika calon
pasangannya masing-masing, kecendrungan bertindak maupun berbuat ataupun
lingkungan sekitar yang mempengaruhinya. Walaupun demikian, semua hal itu harus
dilakukan dalam koridor syariah. Hal demikian diperbuat agar kedua belah pihak
dapat saling menerima dengan ketentraman, ketenangan, dan keserasian serta
cinta sehingga timbul sikap saling menjaga, merawat dan melindungi.
b.
Sebagai penguat ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena
dengan
peminangan
itu kedua belah pihak dapat saling mengenal. Bahwa Nabi SAW bersabda pada
seseorang yang telah meminang perempuan:” melihatlah kepadanya karena
yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Khithbah
adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan
memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya). Khitbah didalam
bahasa Indonesia disebut peminangan berasal dari kata “pinang, meminang” (kata
keerja). Menurut etimologi meminang atau melamar artinya (antara lain) meminta
wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut
terminologi peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan wanita. Atau seorang laki-laki meminta
kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara yang umum berlaku
ditengah-tengah masyarakat.
Proses
khitbah dapat berlangsung, yaitu diantaranya khitbah dapat dilakukan sendiri
oleh seorang ikhwan langsung kepada akhwatnya ataupun dengan mewakilkan,
kemudian bisa juga dilakukan oleh seorang ikhwan kepada keluarga atau wali
pihak akhwat.
Hal yang perlu dipahami dalam khitbah diantaranya adalah:
1.
Kebolehan
Melihat Akhwat Yang Dikhithbah
2. Tidak Boleh
Mengkhithbah Akhwat Yang Masih Dikhithbah Seorang Ikhwan
3.
Seorang
Akhwat Berhak untuk Menerima ataupun Menolak
4. Khitbah Bukanlah
Setengah Pernikahan
3.2 Saran
Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa dibuat
bahan acuan dan pertimbangan bagi mereka yang akan menjalin rumah tangga
bahagia dan semoga Allah SWT. Selalu memberikan yang terbaik bagi kita semua
Amin. Wallahu a'lamu bisshowab.
DAFTAR
PUSTAKA
Ghozali, Abdul. 2003. Fiqh
Munakahat. Kencana Prenada Media Group.
Saebani, Ahmad. April 2009. Fiqh Munakahat. CV.
Pustaka Setia. Bandung.
Sati, Pakih. April
2011. Panduan Lengkap Pernikahan. Bening.
Shobuni, Ali. Tafsir Al-Ahkam. Daar al-Kitab
al-Islamiyah.
Tihami. Fiqh Munakahat. PT. Rajagrafindo
Persada.
Ulwan, Abdullah. September 2006. Tata Cara
Meminang dalam Islam. Qisthi Press. Ctkn: 1.
Hi brides & grooms to be, lagi cari gedung utk acara pernikahan di Kota Bandung? Gedung HIS Balai Sartika Convention Hall bisa jadi pilihan kamu loh karena sekarang udh full carpet & lampu chandelier. Selain itu HIS Balai Sartika Convention Hall juga menyediakan paket pernikahan yang fleksibel dan pilihan vendornya ada banyak banget, bisa pilih sesuai keinginan kamu. Ohya, sekarang lagi ada promo menarik juga loh yaitu CASHBACK dan HONEYMOON PACKAGE! Untuk informasi lengkapnya, hubungin aja Tresna (+6281312214233), FREE KONSULTASI!!
BalasHapus