Jumat, 17 Mei 2013

Sunnah Tasyri’ dan Ghoiru Tasyri’


Kata Pengantar


Kajian tentang pengetahuan agama islam itu sebenarnya mencakup dua hal pokok. Pertama, tentang apa yang harus diyakini umat islam dalam kehidupannya. Kedua, tentang apa yang harus diamalkan umat islam dalam kehidupannya.  Sedangkan ilmu syariah itu pada dasarnya mengandung dua hal pokok. Pertama, tentang materi perangkat ketentuan yang harus dilakukan seorang muslim untuk mencapai kebahagiaanhidup di dunia dan di akhirat. Kedua, tentang cara, usaha, dan ketentuan dalam menghasilkan materi fiqh tersebut.
Sedangkan ushul fiqh adalah ajaran pokok dalam ilmu pengetahuan agama islam. Kita dapat mengetahui mengenai hukum-hukum atau tatanan dalam agama dengan menggunakan pemahaman ushul fiqh. Ushul fiqh dapat di analogikan sebagai akar dari sebuah pohon. Dimana akar adalah dari segala yang ada dalam batang atau juga ranting-rantingnya. Yang dalam hal ini adalah fiqh, syariah dan juga hukum islam.
Dalam kajian ushul fiqh kita akan mempelajari kaidah-kaidah dalam pengambilan hukum fiqh dengan terperinci. Jadi dalam memahami tentang tatanan yang ada dalam hukum islam kita tidak akan salah persepsi. Dan kita juga akan tahu apa alasan atau dasar dari pengambilan suatu hukum fiqh.
Dalam kajian kali ini kita akan membahas masalah Sunah.  Kita mencoba memaparkan pembahasan mengenai Sunah yang kami sinkronkan dengan silabi yang telah ditetapkan.  Tentunya dalam penulisan ini, kami melakukan banyak kekurangan. Oleh karena itu kami juga mengharap koreksi dari para pembaca. Semoga pembahasan kami kali ini dapat memberi manfaat bagi kami sendiri, maupun bagi pembaca. Amin


Penulis           



 

Daftar Isi





 

Pendahuluan

Latar Belakang


Dalam pembahasan kali ini kami diberikan tugas untuk memaparkan masalah “Sunah”.  Kita akan membahas tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Sunah. Mengapa kita membahas bab tersebut, alasan yang pertama adalah berdasarkan tugas yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah ushul fiqh yakni, Dr. Tutik Hamidah, M.Ag. Alasan yang kedua adalah dengan melihat kenyataan yang terjadi di masyarakat. Masih banyak yang belum memahami mengenai pembahasan sunah. Yang akibatnya adalah salah pengertian yang berujung pada pengaplikasian yang salah dan tidak sesuai dengan maksud sebenarnya.
Maka dari itu, kami akan membahas sedetail mungkin. Mulai dari pengertian, macam, fungsi, dan juga kami akan memberikan contoh permasalahan kontemporer yang akan mempermudah kita dalam memahaminya. Dan pada akhirnya kita dapat memahami hakikat yang sesungguhnya. Dan tentunya meminimalisir adanya penyimpangan terhadap pengaplikasiannya.


Rumusan Masalah


1.       Apa pengertian dari Sunah ?
2.       Apa saja macam-macam dari Sunah?
3.       Bagaimana fungsi Sunah itu ?
4.       Apa perbedaan antara sunah tasyri’ dan ghoiru tasyri’ ?
5.       Bagaimanakah kedudukan sunah sebagai sunah tasyri’iyyah ?
6.       Bagaimanakah pandangan kelompok syiah mengenai sunah ?

Tujuan

1.      Memahami pengertian dari sunah secara terperinci.
2.      Mampu mengidentifikasi tentang macam dari sunah dan juga pengertiannya.
3.      Mengetahui fungsi dari sunah.
4.      Mengetahui perbedaan antara sunah tasyri’ dan ghoiru tasyri’iyyah.
5.      Mengidentifikasi kedudukan Sunah dalam sunah tasyri’iyyah yang dijadikan pedoman sumber hukum.
6.      Mengetahui  pandangan kelompok syi’ah terhadap sunah.



Pembahasan

Pengertian Sunah


Kata Sunah berasal dari kata سنة   yang berasal dari kata  سن , Secara etimologis beararti cara yang bisa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik atau buruk. Kata sunah dalam periode awal islam dikenal dengan dalam artian “ cara-cara beramal dalam agama berdasarkan apa yang biasa dilakukan dalam pengamalan agama.[1]
Sunah dalam istilah ulama’ ushul adalah apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun pengakuan dan sifat Nabi. Sedangkan sunah dalam istilah ulama’ fiqh adalah sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti.[2]Menurut para ahli hadist sunnah sama dengan hadist, yaitu sesuatu yang dinisbahkan kepada Rasulullah , baik perkataan, perbuatan maupun sikap beliau mengenai suatu peristiwa.[3]
As-sunah juga dapat dimaksudkan dengan sesuatu yang dilakukan oleh para sahabat, baik hal itu terdapat dalam Al-Qur’an atau sunnah atau tidak pada keduanya, karena para sahabat mengikuti sunnah dengan nyata, hanya saja tidak diriwayatkan sampai kepada kita atau sebagai ijtihad yang disepakati mereka atau penerus mereka, sebagaimana mereka lakukan dalam pengumpulan mushaf dan pengumpulan buku-buku yang semisal.[4]



 

Macam- Macam Sunah


Sunah menurut ahli ushul dibagi menjadi 3 macam[5];
Pertama sunah qauliyah (     السنة القو لية )    yaitu ucapan Nabi yang didengar oleh sahabat beliau dan disampaikan kepada orang lain. Umpamanya sahabat menyampaikan bahwa ia mendengar Nabi bersabda, “ siapa yang tidak shalat karena tertidur atau karena ia lupa, hendaklah ia mengerjakan shalat itu ketika sadar”.
Kedua sunah fi’liyah ( السنة الفعلية) yaitu perbuatan yang dilakukanoleh Nabi Muhammad SAW. Yang dilihat atau diketahui oleh sahabat kemudian disampaikannya kepada orang lain dengan ucapannya. Umpamanya sahabat berkata, “Saya melihat Nabi Muhammad SAW. Melakukan shalat sunat dua rakaat sesudah shalat dzuhur”.
Ketiga sunah taqririyah (  السنة التعر يريية) yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan dihadapan atau sepengetahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi atau dicegah oleh Nabi. Diamnya Nabi itu disampaikan oleh sahabat yang menyaksikan kepada orang lain denga ucapannya. Umpamannya seorang sahabat memakan daging dhab di depan Nabi, Nabi mengetahui apa yang dimakan oleh sahabat itu, tetapi Nabi tidak melarang atau menyatakan keberatan atas perbuatan itu.
Ketiga sunnah tersebut disampaikan oleh yang melihat, mendengar, menerima dan mengalaminya dari Nabi secara beranting melalui pemberitaan atau khabar, hingga sampai kepada orang yang mengumpulkan, menuliskan, dan membukukannya.

 

Fungsi Sunah


Dalam uraian tentang Al- Qur’an telah dijelaskan bahwa  sebagian besar ayat-ayat Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara imaliah belum dapat dilaksanakan tanpa ada penjelasan dari sunah. Dengan demikian fungsi sunah yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an.[6] Hal ini sesuai dengan penjelasan Allah dalam Surah an-Nahl (16):64:
!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# žwÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmŠÏù   Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 šcqãZÏB÷sムÇÏÍÈ  
Maka kedudukan sunah sebagai sumber asli dari hukum fiqh disebut sebagai bayani.
 Dan dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut;
1.      Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Quran atau disebut fungsi Ta’kid dan Taqrir.
2.      Memberikan penjelasan terhadap yang dimaksud dalam Al-Quran dalam hal:
·         Menjelaskan arti yang samar dalam Alquran.
·         Merinci apa-apa yang dalam Al-Quran disebutkan secara garis besar.
·         Membatasi apa-apa yang dalam Al-Quran disebutkan secara umum.
·         Memperluas maksud dari suatu yang tersebut dalam Al-Quran.
3.      Menetapkan suatu hukum dalam sunnah yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-quran.  Dengan demikian keliatan bahwa sunnah menetapkan sendiri hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Quran .

Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan sunnah itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung Al-Quran atau memperluas apa yang disebutkan Al-Quran secara terbatas.

Sunnah Tasyri’iyyah dan Ghoiru Tasyri’iyah


Dari  satu segi sunah adalah segala apa yang dikatakan Nabi,diperbuat Nabi,dan yang diakui Nabi.  Di sisis lain, umat dituntut untuk mengikuti sunah Nabi .  Di antara sunah itu ada yang tidak mesti untuk diikuti oleh umat.  Dalam hal ini ulama mengelompokan sunah kepada dua kelompok yaitu;[7]
1.      Sunah Ghoiru Tasyri’iyah
Sunah yang tidak harus untuk diikuti dan hukumnya tidak mengikat, dan sunah ini ada tiga macam yaitu;
§  Ucapan dan perbuatan Nabi yang ditimbul dari hajat insane dalam kehidupan keseharian Nabi dalam pergaulan seperti: makan, tidur, kunjungan, cara berpakaian dan ucapan serta perbuatan nabi sebagai seorang manusia biasa.
§  Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari pengalaman pribadi, kebiasaan dalam pergaulan, seperti;urusan pertanian dan kesehatan Nabi.
§  Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari tindakan pribadi dalam keadaan dan lingkungan yang tertentu, seperti: penempatan pasukan, pengaturan barisan,dan penentuan tempat dalam peperangan.
Semua yang dinukil dari Nabi dalam bentuk tiga bentuk tersebut tidak     mempunyai daya     hukum yang mengandung untuk tuntutan dan larangan. 


2.      Sunah Tasyri’
Sunah yang berdaya hukum untuk diikuti , sunah dalam bentuk ini ada tiga macam:
§  Ucapan dan perbuatan yang muncul dari Nabi dalam bentuk penyampaian Risalah dan penjelasan terhadap Al-Quran, seperti: menjelaskan apa-apa yang ada dalam Al-Quran yang masih bersifat belum jelas, menjelaskan ibadat, halal dan haram, akidah dan akhlak.
§   Ucapan dan perbuatan yang muncul dari Nabi dalam kedudukannya sebagai imam dan pemimpin umat islam , dan tindakan yang lainnya dalam bentuk sifatnya sebagai pemimpin.
§  Ucapan dan perbutannya yang muncul dalam kedudukannya sebagai hakim dan Qadhi yang menyelesaikan persengketaan umat islam.
Sunah berdaya hukum tersebut secara garis besarnya mengandung beberapa bidang antara lain Akidah, Akhlak, dan hukum-hukum Amaliyah.

Kedudukan Sunah sebagai Sunah Tasyri’iyah 


Sunah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Quran, dalam kedudukannya  sebagai penjelas, sunah kadang-kadang memperluas hukum dalam Al-Quran atau menetapkan hukum di luar apa yang ditentukan oleh Allah Swt dalam Al-Quran.
Kedudukan  sunah sebagai bayani atau menjalankan  fungsi yang menjelaskan hukum Al-Quran, tidak diragukan lagi dan dapat diterima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi ditugaskan Allah Swt.[8]
Kedudukan sunah sebagai sumber hukum islam setidak-tidaknya dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: dari segi umat islam mematuhi dan meneladani Rosullah Saw, dan  dari segi fungsi sunah terhadap Al-Quran.[9]  Dari sisi yang pertama dapat dijelaskan secara singkat melalui Al-Quran , Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk mematuhi Rosullah saw.  Allah berfirman dalam surah An-nisaa (4);59:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ×Žöyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Allah juga memerintahkan untuk meneladani Rosullah Saw, sebagai syarat untuk mendapatkan surga pada hari kiamat kelak, sebagaimana dalam surah Al-Ahzab (33):21:
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ  

21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.
 Berdasarkan kutipan ayat-ayat di atas, menjadi sangat jelas mematuhi dan meneladani Rosullah Saw berarti pula mengikuti aturan-aturan hukum yang ditetapkan oleh beliau. Bahkan Al-Quran menegaskan, keimanan seseorang tergantung pada kepatuhan seseorang kepada keputusan-keputusan hukum yang ditetapkan Rasulullah . Firman Allah dalam Surah An-Nisa’ (4);65
Ÿxsù y7În/uur Ÿw šcqãYÏB÷sム4Ó®Lym x8qßJÅj3ysム$yJŠÏù tyfx© óOßgoY÷t/ §NèO Ÿw (#rßÅgs þÎû öNÎhÅ¡àÿRr& %[`tym $£JÏiB |MøŠŸÒs% (#qßJÏk=|¡çur $VJŠÎ=ó¡n@ ÇÏÎÈ  
65. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

Dari sisi lain, tidak dapat dibayangkan adanya orang yang patuh terhadap ajaran-ajaran Al-Quran sebagai wahyu Allah, tanpa mempercayai kebenaran Rasulullah dan mematuhi beliau. Sebab, sampainya Al-Quran kepada seseorang melalui lisan beliau, setelah sebelumnya diturunkan Allah melalui malaikat Jibril kepada beliau.[10]
Selanjutnya, kedudukan sunah sebagai sumber dan dalil ditinjau dari segi fungsi sunah dapat diuraikan sebagai berikut: [11]
Sebagaimana telah dijelaskan, ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang hukum sebagian besar bersifat umum dan mengatur hal-hal yang pokok dan mendasar. Sebagaimana layaknya undang-undang dasar suatu Negara yang juga mengatur hal-hal dasar dan pokok memerlikan undang-undang dan peraturan pelaksana agar dapatdiberlakukan, maka ketentuan-ketentuan Al-Quran yang bersifat dasar dan pokok itu memerlukan penjelasan lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan. Penjelasan itu terdapat di dalam sunah. Al-Quran sendiri menjellaskan, fungsi sunah yang dominan adalah sebagai penjelas terhadap Al-Quran. Hal ini disebutkan dalam surah an-Nahl(16);64;
!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# žwÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmŠÏù   Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 šcqãZÏB÷sムÇÏÍÈ  
64. dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

Secara lebih terperincidapat disebutkan, fungsi Sunah sebagai penjelas(al-bayan) trhadap Al-Quran terdiri atas tiga kategori sebagai berikut;[12]
·         Menjelaskan Maksud Ayat-Ayat Hukum Al-Qur’an  yaitu dengan:

Ø  Memerinci ketentuan-ketentuan hukum Al-Qur’an yang disebutkan secara garis besar. Misalnya mengenai shalat yang dijelaskan secara global dalam Al-Qur’an.
Ø  Menerangkan kata-kata yang maknanya belum spesifik dalam Al-Qur’an.

·         Men-takhsiskan Ayat-Ayat Al-Qur’an yang Bersifat Umum
·         Mengukuhkan dan Mempertegas Kembali Ketentuan –Ketentuan yang Terdapat dalam Al-Qur’an
·         Menetapkan Hukum Baru yang Menurut Zhahirnya Tidak Terdapat dalam Al-Qur’an


Sunah Menurut Syi’ah


Kelompok  Muslim syiah mempunyai pandangan berbeda tentang sunnah.  Mereka menganggap yang ma’shum itu bukan hanya nabi Muhammad Saw, tetapi juga keturunannya melalui putrinya Fathimah dari Ali bin Abi Thalib atau yang lebih dikenal dengan sebutan “ Ahlul-Bait”[13].  Dengan demikian maka hadits yang mereka akui hanyalah hadits yang diriwayatkan oleh anggota ahlul-bait.  Mereka beranggap bahwa orang yang tidak mendukung Ali sebagai orang yang berkhianat terhadap wasiat Rosullah Saw , dan menentang dalam kebenaran .  Maka dalam pandangan mereka orang-orang tersebut bukanlah orang yang pantas dipegangi  hukumnya dan  mereka tidak merima hadits kecuali sesuai dengan yang diriwayatkan oleh para Ahlul-Bait [14].

 

Masalah Kontemporer yang Berkaitan dengan Sunah


Praktek  Riba
Dalam bingkai ajaran Islam, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh manusia untuk dikembangkan memiliki beberapa kaidah dan etika atau moralitas dalam syari'at Islam. Allah telah menurunkan rizki ke dunia ini untuk dimanfaatkan oleh manusia dengan cara yang telah dihalalkan oleh Allah dan bersih dari segala perbuatan yang mengandung riba. 
Manusia merupakan makhluk yang "rakus", mempunyai hawa nafsu yang bergejolak dan selalu merasa kekurangan sesuai dengan watak dan karakteristiknya, tidak pernah merasa puas, sehingga transaksi-transaksi yang halal susah didapatkan karena disebabkan keuntungannya yang sangat minim, maka harampun jadi (riba). Ironis memang, justru yang banyak melakukan transaksi yang berbau riba adalah dikalangan umat Muslim yang notabene mengetahui aturan-aturan (the rules of syariah) syari'at Islam.  Riba merupakan suatu tambahan lebih dari modal asal, biasanya transaksi riba sering dijumpai dalam transaksi hutang piutang dimana kreditor meminta tambahan dari modal asal kepada debitor. tidak dapat dinafikkan bahwa dalam jual beli juga sering terjadi praktek riba, seperti menukar barang yang tidak sejenis, melebihkan atau mengurangkan timbangan atau dalam takaran.  
Hadist Rasul yang berkaitan dengan hal ini diantaranya:
َعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: ( لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم آكِلَ اَلرِّبَاوَمُوكِلَهُوَكَاتِبَهُوَشَاهِدَيْهِوَقَالَهُمْ سَوَاءٌ )  رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda: "Mereka itu sama." Riwayat Muslim.[15]


َوَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( اَلرِّبَا ثَلَاثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ اَلرَّجُلُ أُمَّهُ, وَإِنَّ أَرْبَى اَلرِّبَا عِرْضُ اَلرَّجُلِ اَلْمُسْلِمِ )  رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ مُخْتَصَراً, وَالْحَاكِمُ بِتَمَامِهِ وَصَحَّحَهُ
Dari Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Riba itu mempunyai 73 pintu, yang paling ringan ialah seperti seorang laki-laki menikahi ibunya dan riba yang paling berat ialah merusak kehormatan seorang muslim." Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan ringkas dan Hakim dengan lengkap, dan menurutnya hadits itu shahih. [16]
Riba (usury) erat kaitannya dengan dunia perbankan konvensional, di mana dalam perbankan konvensional banyak ditemui transaksi-transaksi yang memakai konsep bunga, berbeda dengan perbankan yang berbasis syari'ah yang memakai prinsip bagi hasil (mudharabah) yang belakangan ini lagi marak dengan diterbitkannya undang-undang perbankan syari'ah di Indonesia nomor 7 tahun 1992.[17]
Selain itu juga turun surat al-Baqarah ayat 275-279 yang isinya tentang pelarangan riba secara tegas, jelas, pasti, tuntas, dan mutlak mengharamannya dalam berbagai bentuknya, dan tidak dibedakan besar kecilnya. Bagi yang melakukan riba telah melakukan kriminalisasi. Dalam ayat tersebut jika ditemukan melakukan kriminalisasi, maka akan diperangi oleh Allah SWT dan Rasuln-Nya.


 

Penutup

Kesimpulan


Dari pemaparan pada bab sebelumnya, setidaknya kita sudah dapat gambaran tentang apa itu sunah dan bagaimana cara kita mengaplikasikannya dalam kehidupan kita. Dan dengan melihat permasalahan yang terjadi baru-baru ini kita dapat menyimpulkan bahwasannya akar permasalahan yang ada adalah karena kurangnya pemahaman kita dalam memahami tentang sunah. Seperti dalam hal riba, di dalam hal tersebut dapat kita analisis bahwasannya terjadinya riba dikarenakan keadaan di masyarakat yang masih awam mengenai perihal jual beli maupun riba. Yang pada akhirnya mereka menganggap bahwa apa yang mereka lakukan itu dihalalkan. Padahal sebenarnya, jika kita tinjau dalam hukum islam yang berpedoman pada Al-Quran dan Sunah sudah dijelaskan secara tegas bahwa semua itu adalah hal yang salah dan di haramkan.


 

Daftar Pustaka


Biek, S. M.-K. (2007). Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani.
Bulughul Maram fi Adillati Ahkam. (2001). Jakarta.
Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M. (2010). Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Kitab Undang-undang Tentang Perbankan. (2005). Jakarta: Sinar Grafika.
Qardawi, D. Y. (1997). Fiqih Peradaban. Surabaya: Danakarya .
Syarifuddin, P. A. (2008). Ushul Fiqh Jilid I. Jakarta: Kencana.
Syarifuddin, P. D. (2012). Garis-garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.







[1] Prof.Dr.H.Amir Syarifudin,Ushul Fiqh jilid I,hlm.86
[2] Prof.Dr.H.Amir Syarifudin,Ushul Fiqh jilid I,hlm.87
[3] Dr.H.Abd.Rahman Dahlan,M.A,Ushul Fiqh,hlm.131
[4] Syaikh Muhammad Al-Khudari Biek,Usgul Fiqh,hlm 475
[5] Prof.Dr.H.Amir Syarifudin,Ushul Fiqh jilid I,hlm.89
[6] Prof.Dr.H.Amir Syarifudin,Ushul Fiqh jilid I,hlm.99

[7] Prof.Dr.H.Amir Syarifudin,Ushul Fiqh jilid I,hlm 108
[8] Prof.Dr.H.Amir Syarifudin,Ushul Fiqh jilid I,hlm 111
[9] Dr. H. Abd Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh, hlm 138
[10] Dr. H. Abd Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh, hlm 140
[11] Dr. H. Abd Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh, hlm 141
[12] Dr. H. Abd Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh, hlm 141
[13] Prof.Dr.H.Amir Syarifudin,Ushul Fiqh jilid I,hlm.88
[14] Saeful Hadi, S.Pd.i,Ulumul Hadits, hlm 49
[15] Kitab Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam,No.850
[16] Kitab Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam,No.852
[17] Undang-undang Perbankan, Undang-undang No. 10 Th. 1998 tentang perubahan Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan,hal. 44-45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar