Faktor-Faktor Yang
Menjamin Kesinambungan Hadis
Ada beberapa faktor yang
mendukung terpeliharanya kesinambungan Hadis sejak masa Nabi SAW,
yaitu:
1. Quwwat
al-dzakirah, yaitu kuatnya hafalan para Sahabat yang menerima dan
mendengarkan langsung Hadis-Hadis dari Nabi SAW, dan ketika mereka
meriwayatkan Hadis-Hadis yang sudah menjadi hafalan mereka tersebur kepada
Sahabat lain ataupun generasi berikutnya,. mereka menyampaikannya
persis seperti yang mereka hafal dari Nabi SAW.
2. Kehati-hatian
para Sahabat dalam meriwayatkan Hadis dari Rasulullah SAW. Hal ini
mereka lakukan adalah karena takut salah atau tercampurkan sesuatu yang bukan
Hadis kedalam Hadis. Karena kehati-hatian tersebutlah, maka sebagian Sahabat
ada yang sedikit sekali meriwayatkan Hadis, seperti 'Umar ibn
al-Khaththab. Selain itu, para Sahabat hanya akan meriwayatkan
Hadis manakala diperlukan saja, dan ketika meriwayatkannya me:reka berusaha
secermat mungkin dalam pengucapannya.
3. Kehati-hatian mereka dalam
menerima Hadis, yaitu bahwa mereka tidak tergesa-gesa dalam menerima Hadis
dari seseorang kecuali jika bersama perawi itu ada orang lain yang ikut
mendengarnya dari.Nabi SAW atau dari perawi lain di atasnya. Menurut
AI-Hafidz al- Dzababi. Abu Bakar adalah orang pertama yang sangat
berhati-hati dalam mrnenerima Hadis. Diriwayatkan Ibn Syihab dari
Qubaishah ibn Dzu'aib bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar meminta
bagian warisan. Abu Bakar berkata kepadanya, "Tidak kudapatkaurn di
dalam Al-Qur'an bagian untukmu, dan tidak kuketahui pula bahwa
Rasulullah menyebutkan bagian untukmu,” Kemudian Abu Bakar
bertanya para Sahabat, maka Al_Mughirah berdiri dan berkata, “Kudengar
Rasulullah SAW memberinya seperenam bagian.” Abu Bakar selanjutnya bertanya,
“Adakah bersamamu orang lain (yang mendengarnya)?” Maka berdiri Muhammad Ibn
Maslamah memberikan kesaksian tentang hal itu. Abu Bakar kemudian,
berdasarkan kabar tersebut, melaksanakan pemberian bagian tersebut.
4. Pemahaman
terhadap Ayat “Innaa nahnu nadjalnaa dzikra waannaalahuu lahaafidhuun”
Mustafa
al-Siba’I berpendapat bahwa yang dijamin terpelihara dari usaha pengubahan
(pemutarbalikan) adalah Al-Dzikir dan Al-Dzikr, selain
Al-Quran, juga meliputi Sunnah atau Hadis. Dan apabila pendapat
ini dapat diterima, maka ini merupakan factor penjamin yang cukup penting,
karena yang sifatnya langsung dari Allah SWT.
Hadis Pada Masa
Sahabat dan Tabi’in
Pada masa kekhalifahan Khulafa' al.-Rasyidin, khususnya masa Abu Bakar
al-Shiddiq dan 'Umar ibn alKhaththab, periwayatan Hadis adalah sedikit dan
agak lamban. Dalam periode ini periwayatan Hadis dilakukan dengan cara yang
ketat dan sangat hati-hati. Hal ini terlihat dari cara mereka menerima Hadis.
Abu Bakar sebagaimana yang telah dijelaskan diatas dalam kasus bagian seorang
nenek dalam harta warisan, bahwa dia meminta kesaksian (syahadah)seseorang
yang lain untuk menerima Hadis yang disampaikan oleh Mughirah ibn Syu 'bah,
dan ketika itu yang menjadi saksi atas kebenaran bahwa Hadis tersebut adalah
berasal dari Nabi SAW ialah Muhammad ibn Maslamah.
Demikian juga halnya dengan 'Umar ibn al-Khaththab, bahwa dia tidak
mudah menerima suatu Hadis sebagaimana yang terlihat dalam keterangan
berikut. Ketika Abu Musa al-Asy'ari bertamu kepada Umar, dia mengucapkan
salam sampai tiga kali. “Umar mendengarnya, namun tidak menjawab, karena ia
mengira Abu Musa akan masuk menemuinya. Dugaan tersebut ternyata meleset,
karena dilihatnya Abu Musa kembali pulang. Ketika 'Umar mengejarnya dan
menanyakan mengapa dia berbalik pulang, Abu Musa menjelaskan bahwa
Rasul.ullah SAW pemah bersabda, “Apabila seseorang mengucapkan salam sampai
tiga kali dan tidak juga dijawab oleh si pemilik rumah, maka hendaklah dia
pul.ang kembali”. Umar tidak puas atas keterangan Abu Musa tersebut, bahkan
Umar mengancamnya dengan hukuman apabila dia tidak dapat menghadirkan bayyinah, yaitu
seorang saksi atas keterangan yang disampaikan Abu Musa tersebut. Dan, pada
saat itu tampillah Ubay ibn Ka'ab memberikan penjelasan tentang kebenaran
riwayat tersebut, sehingga akhirnya Umar menerimanya dan seraya berkata, “Aku
tidak bermaksud menuduhmu yang bukan-bukan, tetapi aku khawatir kalau
orang-orang berbicara tentang Rasul SAW dengan
mengada-ada” Menurut Ibn Qutaibah Umar Ibn al_Khaththab adalah
orang yang paling keras dalam menentang mereka dalam periwayatan Hadis. Hal
itu dimaksudkannya untuk menghindari kekeliruan dalam periwayatan Hadis.
Sejarah mencatat bahwa dalam periode Khulafaurrasyidin, khususnya masa
Abu Bakar dan Umar, begitu sedikit dan lamban. Hal ini
disebabkan kecenderungan mereka secara umum untuk menyedikitkan
riwayat (taqlil al-riwayat), di samping sikap hati-hati dan
teliti para Sahabat dalam menerima Hadis. Pada dasarnya mereka bersikap
demikian adalah karena khawatir akan terjadi kekeliruan (al-khatha') dalam
meriwayatkan Hadis, sebab Hadis merupakan sumber ajaran Islarn setelah
Al-Qur'an. Ketelitian serta kehati-hatian dalam menerima sebuah Hadis
tidak hanya terlihat pada diri para Khulafa' al-Rasyidin, tetapi juga pada
para Sahabat yang-lain, seperti Abu Ayyub al-Anshari. Abu Ayyub pernah
melakukan perjalanan ke Mesir hanya dalam rangka untuk mencocokkan sebuah
Hadis yang berasal dari 'Uqbah ibn Amir.
Sikap kesungguhan dan kehati-hatian Sahabat dalam memelihara Hadis
diikuti pula oleh para Tabi'in yang datang sesudah mereka. Hal ini terlihat
sebagaimana yang dilakukan oleh para Tabi'in di Basrah. Mereka menganggap
perlu untuk mengkonfirmasikan Hadis yang diterima dari Sahabat yang ada di
Basrah dengan Sahabat yang ada di Madinah. Jadi, sekalipun suatu Hadis itu
diterima mereka dari Sahabat, para Tabi'in masih merasa perlu untuk mencek
kebenaran Hadis tersebut dari Sahabat yang lain.
Penyebar Luasan
Periwayatan Hadis
Setelah Nabi SAW wafat, yakni pada periode sahabat, para Sahabat tidak
lagi mengurung diri di Madinah. Mereka telah mulai menyebar ke kota-kota lain
selain Madinah. Intensitas penyebaran Sahabat ke daerah-daerah ini terlihat
begitu besar terutama pada masa kekhalifahan 'Utsman ibn 'Affan, yang
memberikan kelonggaran kepada para Sahabat untuk meninggalkan kota Madinah.
Wilayah kekuasaan Islam pada periode 'Utsman telah meliputi seluruh jazirah
Arabia, wilayah Syam (Palestina, Yordania, Siria, dan Libanon), seluruh
kawasan Irak, Mesir, Persia, dan kawasan Samarkand.
Pada umumnya, ketika terjadi perluasan daerah Islam, para Sahabat
mendirikan masjid-masjid di daerah-daerah baru itu dan di tempat-tempat yang
baru itu sebagian dari mereka menyebarkan ajaran Islam dengan jalan
mengajarkan Al-Qur'an dan Hadis Nabi SAW kepada penduduk setempat. Dengan
tersebarnya para Sahabat ke daerah-daerah disertai dengan semangat
menyebarkan ajaran Islam, maka tersebar pulalah Hadis-Hadis Nabi
SAW. Sejalan dengan kondisi di atas, dan dengan adanya tuntutan untuk
mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat yang baru memeluk agama Islam, maka
Khalifah 'Utsman ibn 'Affan, dan demikian juga Ali ibn Abi Thalib, mulai
memberikan kelonggaran dalam periwayatan Hadis. Akibatnya, para Sahabat pun
mulai mengeluarkan khazanah dan koleksi Hadis yang selama ini mereka miliki,
baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Mereka saling memberi dan menerima
Hadis antara satu dengan yang lainnya, sehingga terjadilah apa yang disebut
dengan iktsar riwayah al-Hadits (peningkatan
kuantitas periwayatan Hadis). Keadaan yang demikian semakin menarik perhatian
para penduduk di daerah setempat untuk datang menemui para Sahabat yang
berdomisili di kota mereka masing-masing untuk mempelajari Al-Qur'an dan
Hadis, dan mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai generasi Tabi'in yang
berperan dalam menyebarluaskan Hadis pada periode berikutnya.
Periwayatan Hadis pada masa Tabi’in umumnya masih bersifat dari mulut ke
mulut (al-musyafahat), seperti seorang murid langsung
memperoleh Hadis- Hadis dari sejumlah guru dan mendengarkan langsung dari
penuturan mereka, dan selanjutnya disimpan melalui hafalan mereka.
Perbedaannya dengan periode sebelumnya adalah, bahwa pada masa ini
periwayatan Hadis sudah semakin meluas dan banyak sehingga dikenal
istilah iktsar al-riwayah(pembanyakan riwayat). Dan, bahkan pada
masa ini pulalah dikenal tokoh-tokoh Sahabat yang bergelar al-muktsirin (yang
banyak memiliki Hadis) dalam bidang Hadis yang terdiri atas 7 orang dan di
antaranya yang terbanyak adalah Abu Hurairah. Pada masa
Tabi'in ini mulai dikenal pula apa yang disebut dengan rihlah, yaitu
perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari satu kota ke kota lain dalam
rangka mencari Hadis-Hadis yang diduga dimiliki oleh Sahabat yang bertempat
tinggal di kota lain tersebut. Tradisi rihlah untuk
mendapatkan Hadis sebenarnya telah mengakar pada Sahabat sejak zaman Rasul
SAW. Namun, pada masa itu rihlah lebih bersifat umum untuk
tujuan mencari informasi ajaran Islam yang dinilai “baru”. Umpamanya,
diriwayatkan bahwa Dhamam ibn Tsa'labah pernah melakukan rihlah ke
hadapan Nabi SAW guna mendengarkan AI-Qur'an dan ajaran Islam yang dibawa
beliau sesaat setelah ia mengetahui adanya misi kerasulan Muhammad SAW.
Dhamam kemudian kembali ke kaumnya segera setelah secara tulus menyatakan
keislaman dirinya.
Pada masa Sahabat, Tabi'in, dan Tabi'i al-Tabi'in tradisi rihlah semakin
berkembang dan terarah kepada kegiatan mencari dan mendapatkan Hadis secara
khusus. Banyak di antara mereka yang menempuh perjalanan panjang dan
melelahkan serta memakan waktu yang cukup lama untuk tujuan mendengarkan
suatu Hadis atau mencek validitas Hadis tersebut, atau karena ingin bertemu
dan bersilaturahmi dengan Sahabat untuk selanjutnya mendapatkan Hadis dari
mereka. Yang terakhir ini umumnya dilakukan oleh para Tabi'in. Dengan cara
demikian, terjadilah pertukaran riwayat antara satu kota dengan kota yang
lain.
Penulisan Hadis
pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Meskipun ada riwayat
yang berasal dari Rasul SAW yang membolehkan untuk menuliskan Hadis, dan
terjadinya kegiatan penulisan Hadis pada masa Rasul SAW bagi mereka yang
diberi kelonggaran oleh Rasul SAW untuk melakukannya, namun para Sahabat,
pada umumnya menahan diri dari melakukan penulisan Hadis di masa pemerintahan
Khulafa' al-Rasyidin. Hal tersebut adalah karena besarnya keinginan mereka
untuk menyelamatkan Al-Qur'an al-Karim dan sekaligus Sunnah (Hadis). Akan
tetapi, keadaan yang demikian tidak berlangsung lama, karena ketika 'illat larangan
untuk menuliskan Hadis secara bertahap hilang maka semakin banyak pula para
Sahabat yang membolehkan penulisan Hadis.
Abu Bakar al-Shiddiq, umpamanya, adalah seorang Sahabat yang
berpendirian tidak menuliskan Hadis. Diriwayatkan oleh AI-Hakim dengan sanadnya dari
Al-Qasim ibn Muhammad, dari 'A'isyah r.a., dia ('A'isyah) mengatakan bahwa
ayahnya mengumpulkan Hadis yang berasal dari Rasul SAW yang jumlahnya sekitar
500 Hadis. Pada suatu malam Abu Bakar membolak-balikkan badannya
berkali-kali, dan tatkala Subuh datang dia meminta kepada A'isyah Hadis-Hadis
yang ada padanya. Selanjutnya, ketika 'A'isyah datang membawa Hadis-Hadis
tersebut, Abu Bakar menyalakan api, lalu membakar HadisHadis itu.
Demikian pula halnya dengan 'Umar ibn al-Khaththab yang semula
berpikir untuk mengumpulkan Hadis, namun tidak lama berselang, dia
berbalik dari niatnya tersebut. Diriwayatkan oleh 'Urwah ibn al-Zubair,
bahwasanya 'Umar ibn al-Khaththab bermaksud hendak menuliskan Sunnah, maka
dia meminta fatwa para Sahabat yang lain tentang hal itu, dan para Sahabat
mengisyaratkan agar Umar menuliskannya. Umar kemudian melakukan istikharah
kepada Allah selama sebulan, dan akhirnya dia mengambil suatu keputusan yang
disampaikannya di hadapan para Sahabat, di suatu pagi, seraya berkata,
“Sesungguhnya aku bermaksud hendak membukukan Sunnah, namun aku teringat
suatu kaum sebelum kamu yang menuliskan beberapa kitab, maka mereka asyik
dengan kitab-kitab tersebut dati meninggalkan Kitab Allah; dan sesungguhnya
aku, “Demi Allah, tidak akan mencampurkan Kitab Allah dengan apa pun untuk
selamanya.” Pada riwayat lain melalui jalur Malik ibn Anas, Umar, ketika ia
berbalik dari niatnya untuk menuliskan Sunnah, mengatakan, “Tidak ada suatu
kitab pun yang dapat menyertai Kitab Allah.”
Dari pernyataan 'Umar di atas, terlihat bahwa penolakannya terhadap
penulisan Hadis adalah disebabkan adanya kekhawatiran berpalingnya umat Islam
kepada mempelajari sesuatu yang lain selain Al-Qur'an dan menelantarkan Kitab
Allah (Al-Quran). Justru itu, dia melarang umat Islam untuk menuliskan
sesuatu yang lain dari Al-Qur'an, termasuk Hadis. Dan terhadap mereka yang
telah telanjur menuliskannya, “Umar memerintahkan mereka untuk membawanya
kepadanya, dan kemudian ia sendiri membakarnya”
Para Sahabat lain yang juga melaksanakan larangan penulisan Hadis pada
masa-masa awal itu di antaranya, adalah 'Abd Allah ibn Mas'ud, 'Ali ibn Abi
Thalib, Abu Hurairah, Ibn 'Abbas, dan Abu Sa'id al-Khudri. Akan tetapi,
tatkala sebab-sebab larangan penulisan Hadis tersebut, yaitu kekhawatiran
akan terjadinya percampur bauran antara Al-Qur'an dengan Hadis atau dengan
yang lainnya telah hilang, maka para Sahabat pun mulai mengendorkan larangan
tersebut, dan bahkan di antara mereka ada yang justru melakukan atau
menganjurkan untuk menuliskan Hadis. Hal tersebut adalah seperti yang
dilakukan Umar, yaitu tatkala dia melihat bahwa pemeliharaan terhadap
Al-Qur'an telah aman dan terjamin, dia pun mulai menuliskan sebagian Hadis
Nabi SAW yang selanjutnya dikirimkannya kepada sebagian pegawainya atau
sahabatnya. Abu 'Utsman al-Nahdi mengatakan, “Ketika kami bersama 'Utbah ibn
Farqad, ’Umar menulis kepadanya tentang beberapa permasalahan yang
didengarnya dari RasuI SAW, yang di antaranya adalah mengenai larangan Rasulullall
SAW memakai sutera,”
Demikian pula halnya
dengan para Sahabat lain yang semula melarang melakukan penulisan Hadis,
namun setelah kekhawatiran akan tersia-sianya Al-Qur'an, salah satu penyebab
utama pelarangan penulisan Hadis tersebut, hilang, maka mereka mulai
membolehkan, bahkan melakukan sendiri, penulisan Hadis. Akan halnya
Tabi'in, sikap mereka dalam hal penulisan Hadis adalah mengikuti jejak para
Sahabat. Hal ini tidak lain adalah karena para Tabi'in memperoleh ilmu,
termasuk di dalamnya Hadis-Hadis Nabi SAW, adalah dari para Sahabat. Dengan
demikian adalah wajar kalau mereka bersikap menolak penulisan Hadis manakala
sebab-sebab larangannya ada, sebagaimana yang dilakukan oleh Khulafa' alRasyidin
dan para Sahabat lainnya; dan sebaliknya, manakala sebab-sebab larangan
tersebut telah hilang maka mereka pun sepakat untuk membolehkan penulisan
Hadis, bahkan sebagian besar dari mereka mendorong dan menggalakkan
penulisan dan pembukuannya.
Sejalan dengan pendirian dan sikap para Sahabat, yaitu ada yang pro
dan ada yang kontra terhadap penulisan Hadis, karena adanya Hadis-Hadis yang
melarang penulisan Hadis di samping ada yang membolehkannya, maka sikap para
Tabi'in juga demikian, yaitu ada di antara mereka yang pro dan ada pula yang
kontra. Di antara mereka yang menentang penulisan Hadis adalah 'Ubaidah ibn
'Amr alSal-mani (w. 72 H), Ibrahim ibn Yazid al-Taimi (w. 92 H), Jabir ibn
Zaid (w. 93 H), dan Ibrahim al-Nakha'i (w. 96 H).
Keengganan para Tabi'in dalam penulisan Hadis ini semakin meningkat
tatkala mereka menyadari bahwa banyak di antara ahli Hadis di masa itu
menyertakan pendapatnya ketika meriwayatkan Hadis, sehingga dikhawatirkan apabila
riwayat tersebut dituliskan akan terikut pula dituliskan pendapat sang
perawi, dan umat yang datang kemudian setelah mereka kemungkinan besar akan
menduga bahwa pendapat sang perawi tersebut adalah Hadis juga. Kebanyakap
ahli Hadis pada masa Tabi'in adalah juga ahli Fiqh (Fuqaha), dan ahli Fiqh
cenderung menggabungkan antara Hadis dengan pendapatnya sehingga
dikhawatirkan pendapat dan ijtihadnya tersebut disatukan dengan Hadis-Hadis
Rasul SAW. Sebagai contoh, adalah sebagaimana yang diriwayatkan berikut
ini:
Te1ah datang seorang laki-Iaki kepada Sa'id ibn alMusayyab, salah
seorang Fuqaha dari kalangan Tabi'in yang meriwayatkan larangan menuliskan
Hadis. Laki-laki tersebut menanyakan suatu Hadis kepada Ibn al-Musayyab,
yang dijawab oleh Ibn al-Musayyab dengan mengemukakan Hadis tersebut kepada
laki-laki tadi. Setelah itu, laki-laki tersebut menanyakan tentang pendapat
Ibn alMusayyab berkenaan dengan Hadis tadi, yang pertanyaan tersebut segera
dijawab oleh Ibn al-Musayyab dengan mengemukakan pendapatnya. Laki-laki itu
ternyata menuliskan pendapat Ibn al-Musayyab tersebut bersama-sama dengan
Hadis yang baru saja di diktekan oleh Ibn alMusayyab. Melihat kejadian itu,
salah seorang yang ketika itu hadir bersama Ibn al-Musayyab berkata, “Apakah
pendapatmu juga dituliskannya, wahai Abu Muhammad?” Mendengar hal itu,
Sa'id ibn al-Musayyab berkata kepada laki-laki tadi, “Berikan kepadaku
lembaran catatan itu.” Laki-laki tersebut memberikannya, dan Ibn
al-Musayyab segera mengoyaknya.
Berdasarkan peristiwa di atas, terlihat bahwa yang sebenarnya tidak
disukai oleh para Ulama dari kalangan Tabi'in adalah penulisan pendapat
mereka bersama-sama dengan Hadis NabiSAW, dan bukan penulisan Hadis itu
sendiri. Karena apabila hal itu terjadi, besar kemungkinan akan terjadi
percampuran antara pendapat mereka dengan Hadis Nabi SAW. Hal ini serupa
dengan pelarangan penulisan Hadis yang dilakukan oleh Rasul SAW dan para
Sahabat sebelumnya, yang tujuan utamanya adalah agar tidak terjadi
percampuran antara Hadis dengan Al-Qur'an.
Oleh karena itu, ketika kekhawatiran akan terjadinya percampuran
antara penulisan Hadis dengan pendapat perawinya telah dapat diatasi, maka
sebagian besar Tabi'in memberikan kelonggaran bahkan mendorong murid-murid
mereka untuk menuliskan Hadis-Hadis yang mereka ajarkan. Terdapat di kalangan
Tabi'in itu sendiri mereka yang sangat antusias dalam menuliskan Hadis-Hadis
yang mereka terima dari para Sahabat. Di antaranya adalah Sa'id ibn Zubair
(w. 95 H) yang menuliskan Hadis-Hadis yang diterimanya dari Ibn 'Abbas.
Demikian juga halnya dengan 'Abd al-Rahman ibn Harmalah yang diberi
kelonggaran oleh Sa'id ibn al-Musayyab (w. 94 H) untuk menuliskan Hadis-Hadis
yang berasal dari dirinya ketika 'Abd al-Rahman mengeluhkan buruknya
hafalannya kepada Ibn al-Musayyab. 'Amir al-Sya'bi, seorang Ulama Fiqh dari
kalangan Tabi'in, bahkan memerintahkan para muridnya untu'k menuliskan setiap
Hadis yang disampaikannya kepada mereka, dengan mengatakan, “Apabila kamu
mendengar sesuatu (Hadis), dariku maka kamu tulislah Hadis tersebut walau di
dinding sekalipun.” Dorongan yang sama untuk menuliskan Hadis bagi para
muridnya juga dilakukan oleh Al-Dhahhak ibn Muzahim (w. 105 H).
Kegiatan penulisan
Hadis, di masa Tabi'in semakin meluas pada akhir abad pertama dan awal abad
kedua Hijriah. 'Umar ibn 'Abd al-'Aziz (61-101 H), sebagai seorang Amir
al-Mu'minin ketika itu, juga turut aktif secara langsung mencari dan
menuliskan Hadis. Diriwayatkan dari Abi Qilabahal-Jarmi al-Bashri (w. 104 H),
dia mengatakan, “Keluar bersama kami 'Umar ibn 'Abd al-'Aziz di suatu hari
untuk melaksanakan shalat zuhur dan dia membawa kertas bersamanya.
Selanjutnya dia juga keluar bersama karni untuk melaksanakan shalat asar,
juga sambil membawa kertas, dan pada saat itu aku bertanya kepadanya, “Wahai
Amir al-Mu'minin, kitab apakah ini?” Dia menjawab, “Ini adalah Hadis
yang diriwayatkan oleh 'Aun ibn'Abd Allah, dan Hadis tersebut menarik
perhatianku sehingga aku menuliskannya”
|